Perbedaan rasa cinta dan rasa ingin memiliki…“Hanung, excellent... proud of u, u present the messages through the movie very clearly.. congrats for u and all the team.. Bravo Ferdi Nuril.. Great job Aris n Gina…”
Itu SMS gue ke Hanung (the director), Aris/Salman Aristo dan Gina (the script writers) jam 1.15 pagi sepulang gue nonton gala premier film Ayat-Ayat Cinta…
Dulu gue selalu masuk ke dalam bioskop untuk nonton film Indonesia dengan harapan yang tinggi, tapi selalu ada rasa kecewa setelah keluar dari bioskop…, gue nggak bilang film-film yang gue tonton totally jelek, hanya gue sering over-expectation setiap akan nonton film Indonesia apalagi yang sudah menjadi pembicaraan sebelumnya…, jadi terakhir2 ini setiap kali nonton film Indonesia gue hanya sekedar kepingin tahu hasil kerja teman-teman pekerja film, melihat reaksi penonton, dan mencari referensi… nggak mau berharap banyak.., begitu juga waktu gue mau nonton Ayat-Ayat Cinta..
Saat mulai menonton film ini, gue mencoba ”melepaskan” cerita novelnya dari kepala gue, melupakan cerita permasalahan yang terjadi di belakang film ini yang bisa bikin gue terbawa sentimentil duluan... (Bisa baca blognya Hanung: http//hanungbramantyo.multiply.com, tentang cerita perjuangannya menyelesaikan film ini). Gue berusaha menonton film ini apa adanya, menerima apa yang dilihat oleh mata gue dan dirasakan oleh hati gue..., dan ternyata kali ini gue terlalu under-expectation..., mata dan hati gue terpuaskan saat keluar dari bioskop...
Sebuah karya hasil perjuangan seorang Hanung Bramantyo…
Rasanya nggak perlu membahas cerita Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel Best Seller karya Habiburrahman El Shirazy ini, pasti banyak yang sudah tahu jalan ceritanya, walaupun ada tambahan dan perubahan di sana-sini dalam skenario yang ditulis Aris dan Gina, tapi gue rasa pembaca fanatik Ayat-Ayat Cinta nggak akan kecewa2 banget menonton film ini...
Yang sangat gue rasakan setelah nonton film ini adalah kesederhanaan Hanung menggambarkan bahasa-bahasa cinta yang tercermin dalam akting pemain-pemainnya. Memang nggak mungkin 100% mengangkat kekuatan karakter tokoh-tokoh dalam novelnya ke dalam layar lebar, tapi dengan dialog-dialog pendek yang dihadirkan di film ini justru membuat setiap pemain bisa maksimal menunjukkan karakternya. Seperti di film-filmnya yang lain, Hanung memang sutradara yang paling memperhatikan detail sinematografi, apalagi didukung oleh team art (Allan n team) yang luar biasa dan penataan kamera (pak Ao/Faozan n team) yang nggak neko-neko...
Memang skenario terasa menjadi sangat ”compact”, usaha memadatkan cerita yang hampir selalu terjadi di film-film yang diangkat dari novel, dengan cara yang paling ampuh yaitu flashback. Tapi sekali lagi, justru ”kesederhanaan” Hanung menerjemahkan tokoh-tokohnya yang membuat film ini menjadi kuat. Proporsional..... nah ini kayanya kata yang paling tepat... proporsional..., dari tadi gue cari kata yang paling tepat untuk menggambarkan alur skenario film ini...
O ya, satu hal lagi kesuksesan film ini..., pesan-pesan agama, moral, kehidupan, dijelaskan Hanung dengan sangat..sangat.. jelas..., menurut gue kenapa bisa sangat jelas karena ya melalui kesederhanaan itu.... Film ini walaupun film tentang agama tapi kan nggak hanya untuk orang-orang yang faham betul tentang Islam..... Nggak perlu dengan atribut-atribut dan bahasa-bahasa agama yang berat untuk membawa pesan-pesan itu untuk sampai ke penonton. Gue setuju banget dengan keputusan Hanung mengenai hal ini... Plus lagi.. film ini berpotensi membuat tokoh Fahri menjadi laki-laki impian saat ini... bukan lagi si Boy.. Fahri kan manusia langka, 1 di antara seribu.. apa sejuta.. kita kan lagi krisis pria yang punya hati kaya Fahri... :)
Hanya satu yang agak nggak pas buat gue, musik/scoringnya… agak too much.. Tya Subiyakto memuaskan kegeniusannya bikin musik di sini, tapi kayanya film ini nggak perlu musik yang terlalu padat yaa.., agak domplang dengan kesederhanaan filmnya, banyak adegan yang udah kuat, nggak perlu musik lagi...
Anyway…, semua pendukung film ini patut diacungkan jempol….
Gue nggak sempet ketemu Hanung setelah selesai nonton, hanya ketemu sebelumnya, juga dengan Aris dan Gina, jadi gue langsung SMS seperti di atas tadi, sejujurnya gue agak emosi saat keluar tadi, happy dan haru..., inget waktu liat tampang Hanung yang kecewa banget setahun lalu sehabis pulang dari hunting lokasi film ini ke Mesir…. dan producer MD menyatakan nggak mungkin shooting di Mesir karena budget yang membengkak…. terus baca blognya Hanung….. haaahhh....
Gue bener2 berharap, mudah-mudah film ini sukses di pasaran, tidak menuai kontroversi nggak penting karena masalah agama yang diangkat… Gue berharap penonton Indonesia sudah makin cerdas untuk bisa menghargai sebuah karya film, dan untuk semua film-maker semakin tertantang untuk membuat film dengan totalitas dan tanggungjawab terhadap hasil karyanya...
Seperti komen gue di blognya Hanung: ”Nung, setiap tetes keringat, air mata bahkan darah yang keluar dari sebuah perjuangan yang tulus, pasti akan terbayar dengan siraman air sejuk yang nggak akan ada habisnya, selama semuanya dilakukan dengan ikhlas... gw percaya banget itu.. Apa pun hasil dari film AAC ini, yang terpenting loe udah buktiin totalitas, tanggung jawab dan dedikasi loe sebagai film maker... Setelah ini, apa pun film yg loe buat, pasti akan menjadi mudah...”
19 Feb 2008
3.27 AM
SOULMATE (dari AYAT-AYAT CINTA): "Mesir dan sungai Nil... kalau nggak ada sungai Nil nggak akan ada Mesir", gitu kata tokoh Maria....